Berpuisilah ~ Lalu dengarkan Jiwamu ~ Kau Akan Menemukan yang Hilang Tak Pernah Pergi

Puisi-puisi Susan Gui

ilustrasi gambar


Pada Sebuah Kota
Derai kata yang tertabur rinai
Basah telungkup aspal legam
Sebagian mereka berlari menghimpit raga
Di antara mereka berdiri di bawah rerindang
Tidak perlu hujan dihalau
Biar meruak wangi tanah-tanah basah
Rambah di sebagian kita
Ah, ini mungkin hanya sebagian tanya
Pada sebuah kota
Gegaris Senja
Garis wajahmu,
selalu kuingat, dari jutaan aku menggaris kenangan
Akhirnya perasaan itu padam, mengerjap pada belukar perasaan

Bulir mata air menderas
Durja seperti darah
Mengalir dari daging perasaaan
Kita akhirnya lupa, berjumpa bukan sekedar hanya merasa
Tapi takdir memetik kita pada sebuah masa

Hanya pada sebuah senja
Kau kirimkan kuntum bunga padma
Terselip antara tebing buah dada
Untuk kemudian kau selipkan di antara hati

Ah. itu memori pada sebuah memoar sekejap pandang,
Pada Senja pertama Lelaki tua menggambar dua orang yang memandang senja; menggaris kita, sayang, hanya pada sebuah senja.
Pada Sebuah Senja
Mengular waktu melilit bisu
Pada bola mata kita terlentang ragu
Ada pelangi memintas sepi
Dan nyata kita enggan kembali
Berlari kini kita menyemak masa
Pada seribu purnama diam kita sama merasa
Ribuan gelaran senja menjadi saksi
Pada janji bukan sekedar mengada
Tapi kini kasih; kita menikam jantung bukan karena cinta
Semata hanya pada sebuah senja,
kita mau tertunduk pasrah pada kenangan
Ini cinta kubilang; tapi kita sama tak berdaya.
Jakarta, 11 September 2012
Ibu
Gui Hok Yang, anakmu pulang berdarah. Sekali ini memanglah kau segala. Dari rahimmu aku tertuang dalam cerita, dari rahimmu aku menjadi diri ini.
Kali ini, senja ini, aku kembali.
Gui Hok Yang, anakmu kalah ribuan kali, kau tersenyum di tepi pintu dan menerimaku kembali. “Kemari nak, perih ini mampu kita obati”.
Ibu betapa kau segala dalam metrum darahku, kau gurat selaksa doa.
Dan kali ini aku menepi di pinggir kakimu, ibu, doakan sekali lagi?
Gui Hok Yang, kau segala ibu, ibu, ibu.
Gui, 2012.
Apa Kabar?
Apa kabar buah dada?
Tidak adakah buah selama musim kemarau ini?
Kering mengigil memakan hijaumu
Kilau hidup hambar jadi kuning kusam
Kemarau menyesap sarimu
hingga hanya butir darah luka menitik pelan
Kandas
Apa kabar bulubulu halus
yang sering merimang gigih
sewaktu sentuh menjadi kata paling jujur
Kini bulubulu itu menggoyangkan dirinya sendiri,
menafsirkan kehilangan sebagai
jumpa entah pada aras apa
Apa kabar lukisan pada buah-buah
yang tidak pernah menguncup putik?
Itukah sidik jarimu pada sekujur jangat yang pasi
Aih apa kabar buah dalam dada
yang sedemikian aku rindui dalam diam.
Mengucuplah dalam musim penghujan
tatkala tetesan pertama
merembes pada jalur nadimu
yang merimang bulubulu halus;
maaf, aku hanya rindu..
GUI, 2012
Padamu
Pada jemarimu yang mencengkram pinggir kasur; erat
Pada jejang lehermu
Pada punggungmu berbulubulu
Padamu; semua aku jadi bisu.
Gui, 2012
Susan Gui, pecinta buku dan Kesenian, lahir pada 11 September 1984. Tinggal dan bekerja di Jakarta.

Tag : Puisi
0 Komentar untuk "Puisi-puisi Susan Gui"

Back To Top