Picik
Itulah kata paling indah menggambarkanmu
Mulutmu
Gerak-gerikmu
Matamu
Senyummu
Kelakuanmu
Tampangmu
Itu semua picik
Bukan karena ku dendam kesumat
Karena ku rindu
Rindu kedamain
Rindu kesejahteraan
Picik
Lagi-lagi kata itu paling menakjubkan
Tak ada bahasa indah selain itu
Biarlah kau bakar diriku
Walau menjadi seonggok abu
Aku marah pada pejabat
Yang uangnya tak jelas asal-muasalnya
Aku marah pada Indonesia
Tapi bukan pada Negara Tentunya
Tapi pada oknum-oknum bertopengkan wajah santun
Terbakar sudah harapan kami
Semesta seolah enggan berputar
Mentari tak mau lagi pancarkan cahayanya
Pada bumi subur menghijau
Indonesia
Tak ada lagi lambaian keyakinan
Yang ada hanya kebencian
Sumpah serapah menyayat jiwamu
13 Tahun yang lalu
Saat ku masih tertatih melangkah
Indonesiaku masih Merah-Putih
Walaupun terkadang abu-abu
Kini aku ingin pulang
Setidaknya tak lagi menatap wajamu
Yang penuh kemunafikan
Aku menuju halaman
Berjalan pada gang-gang sempit
Menuju pelabuhan dermaga membisu
Aku kembali lagi
Saat Indonesia menjadi berbeda
Bercermin dari masa lalunya
Berjuang penuh darah
Kemudian mati
Lalu hidup lagi
Tapi aku
Tetap enggan menyapamu
Itulah kata paling indah menggambarkanmu
Mulutmu
Gerak-gerikmu
Matamu
Senyummu
Kelakuanmu
Tampangmu
Itu semua picik
Bukan karena ku dendam kesumat
Karena ku rindu
Rindu kedamain
Rindu kesejahteraan
Picik
Lagi-lagi kata itu paling menakjubkan
Tak ada bahasa indah selain itu
Biarlah kau bakar diriku
Walau menjadi seonggok abu
Aku marah pada pejabat
Yang uangnya tak jelas asal-muasalnya
Aku marah pada Indonesia
Tapi bukan pada Negara Tentunya
Tapi pada oknum-oknum bertopengkan wajah santun
Terbakar sudah harapan kami
Semesta seolah enggan berputar
Mentari tak mau lagi pancarkan cahayanya
Pada bumi subur menghijau
Indonesia
Tak ada lagi lambaian keyakinan
Yang ada hanya kebencian
Sumpah serapah menyayat jiwamu
13 Tahun yang lalu
Saat ku masih tertatih melangkah
Indonesiaku masih Merah-Putih
Walaupun terkadang abu-abu
Kini aku ingin pulang
Setidaknya tak lagi menatap wajamu
Yang penuh kemunafikan
Aku menuju halaman
Berjalan pada gang-gang sempit
Menuju pelabuhan dermaga membisu
Aku kembali lagi
Saat Indonesia menjadi berbeda
Bercermin dari masa lalunya
Berjuang penuh darah
Kemudian mati
Lalu hidup lagi
Tapi aku
Tetap enggan menyapamu
Tag :
Puisi Nasionalisme
0 Komentar untuk "Picik"