Berpuisilah ~ Lalu dengarkan Jiwamu ~ Kau Akan Menemukan yang Hilang Tak Pernah Pergi

Puisi Sitor Situmorang



Sitor Situmorang
Berikut biografi Sitor Sitomaorang (Id.wikipedia.org). Sitor Situmorang (lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1923 – meninggal di Apeldoorn, Belanda, 21 Desember 2014 pada umur 91 tahun) adalah pujangga Indonesia. Situmorang menulis sajak, cerita pendek, esai, naskah drama, naskah film, karya terjemahan, dan telaah sejarah lembaga pemerintahan Batak Toba. Ayahnya adalah Ompu Babiat Situmorang, ipar kandung dan panglima perang di sisi Sisingamangaraja XII melawan tentara kolonial Belanda.

DANAU TOBA

Aku rindu pada bahagia anak,
Yang menunggu bapaknya pulang,
Dari gunung membawa puput,
Sepotong bambu tumbuh di paya-paya.

Pada perahu tiba-tiba muncul sore,
Dari balik tanjung di teluk danau,
Membawa Ibu dari pekan,
Dengan oleh-oleh kue beras
bergula merah.

Aku rindu pada malam berbulan,
Kala si tua dan si anak mandi
sinar purnama,
Berkaca di permukaan danau biru –
Sebelum air mengelucak di musim kemarau

Aku rindu pada bunyi seruling gembala,
Bergema di bukit memenuhi lembah,
Pada permainan di gua-gua batu
penuh lebah,
Kala api panen mengusik hewan
di tengah sawah.

Aku rindu. Aku rindu pada tebing
hijau,
Tempat ikan emas bercengkerama,
Di antara lumut menggeliat bening,
Seperti taman zambrut dalam impian.

Aku rindu pada batu-batu besar dan hitam,
Muntahan lahar dari perut bumi,
Pada pemandangan tua ribuan tahun,
Si gembala domba, termenung
di atas batu.

Aku rindu bau-bau di musim
panen,
Gelak si tani purba membakar jerami,
Rindu pada si nelayan pulang dari
danau,
Menyandang pukat dan ikan di sore hari.

Aku rindu pada suara kakak,
Memanggil aku pulang makan,
Rindu pada resah bambu di benteng
kampung,
Melambaikan daunnya pada
angin gunung.

Aku rindu pada adikku, yang rindu padaku,
Aku rindu bunyi palu tukang perahu
Aku rindu lenguh sapi, pada bau
kerbau,
Aku rindu, rindu suara Ibu,
terkubur di pinggir danau.

Aku rindu lonceng gereja bertalu-talu,
Rindu gemanya merayap-rayap
di udara,
Menyongsong malam, mengumumkan satu-satu
Kematian,
Merayakan Perkawinan – serta Kelahiran,
Pada malam Natal, kisah tiga Raja
dari Timur,
Datang menghormati Anak Manusia,
di sana, di tepi Danau Toba, kelahiranku.





SI ANAK HILANG
Seorang kaya mempunyai dua putra,
Dua remaja berlainan perangai,
Si Bapak sama-sama sayang,
Bagaimana akan memisah darah?

Putra sulung rajin lagi tekun,
Bertani, bertukang, merawat hewan,
Sepanjang hari bekerja di kebun,
Memelihara warisan nenek moyang.

Putra bungsu suka ke tempat pesta,
Pesiar di mana orang muda berkumpul,
Padi di ladang, hewan berbiak di gunung,
Menjadi haknya, tanpa kerja.

Malam pergi, pulang di pagi buta,
Kerja si Bungsu sepanjang tahun,
Tinggalkan si Sulung membanting tulang,
Kembali malam menutup kandang.

Akhirnya desa terlalu sepi,
Bagi si perlente, jagoan pasar,
Putus kata – Ia akan ke kota, pergi,
Berbekal warisan pemberian Ayah.

Kota jaya penuh warna dunia,
Membuat si Bungsu mabuk bahagia,
Makan, minum, bersenda gurau,
Dengan sahabat pandai berlagu.

Harta pun habis – Negeri dilanda lapar,
Wabah mengamuk membawa sengsara,
Teringat si Bungsu, betapa senangnya,
Andai ia pelayan saja di rumah Ayah.

Untuk hidup, si Bungsu ambil kerja,
Pelayan di rumah orang, tingkat terendah,
Kandang hewan jadi penginapan,
Untuk makan, diberi sisa makanan.

Si Bungsu lalu sadar, ia harus pulang,
(melambai kampung halaman)
Dekat Ayah di antara budak belian,
jadi pembantu si Abang

Suatu sore ia dari jauh datang,
Nampak pada Ayah di pematang,
Tempatnya tertunggu tiap sore,
Doakan si anak teringat pulang.

Si Ayah berlari menjumpai anaknya,
Dipeluknya sambil tersedu-sedu,
Si Bungsu terharu, lalu sujud:
“Ayah, aku berdosa. Aku pantas budakmu.”

Si Ayah segera memanggil kerabat,
Minta sapi-domba disiapkan korban,
Merayakan hari bahagia umat –
Anakku hilang, kembali ke pangkuan!

Dari ladang, kembali si Sulung,
Mendengar orang ramai berdendang,
Ayahku pesta, apa gerangan hal baru,
Alasan beria, di luar pengetahuanku?

Tetangga berkata: Belumkah kau tahu?
Adikmu pulang, dari perantauan,
Karenanya kita pesta, menuang madu,
Minum anggur sepuas hati.

Si Sulung berpaling, pergi menyendiri.
Di tengah ladang sedih berdiri,
Pikirkan nasib, betapa sia-sia,
Habiskan umur kerja dengan setia.

Si ayah merasa, si Ayah melihat,
Anak setia bermuram durja,
Ia datangi, membujuk penuh kasih:
Tak kau bahagia anakku sayang?
Adikmu pulang, setelah lama hilang!
Kasihku padamu. Hartaku semua
Adalah milikmu. Adikmu ini
lebih dari domba, pantas dikasihani!

Si Sulung berpaling, lalu lari ke rumah,
Menjumpai adiknya, berdiri di ambang,
Mereka berhadapan, tangan hendak membunuh,
Lunglai – membelai ubun adik tersayang.



Kembali kita berhadapan
Dalam relung sepi ini
Dari seberang lembah mati
Bibirmu berkata lagi
Napasmu mengelus jiwaku
Tersingkap kabut dataran
Dan kutahu di tepi selatan
Laut 'manggil aku berlayar dari sini

Tunggulah, aku akan datang
Biar kelam datang kembali
Dengan angin malam aku bertolak
Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang
Mati, berarti kita bersatu lagi
1948
1 Komentar untuk "Puisi Sitor Situmorang"

Kedepan kalo bisa muat juga puisi whiji thukul

Back To Top